Aku termenung di
pinggiran sungai Main pada hari yang
sungguh kelam, sama kelamnya dengan hatiku yang seakan disiram air dingin
berwarna hitam, sungguh suatu ungkapan yang sangat cocok dengan perasaan dan
warna hatiku. Jiwaku masih remuk redam, mencoba mengubur dalam-dalam kenangan
itu, tapi kenangan buruk itu seakan memiliki tenaga yang lebih untuk membuka
kembali sosoknya yang kukubur rapat
tadi.
Andai saja aku
tersadar lebih awal untuk apa aku selama ini menetap di negeri antah berantah
yang tidak akan pernah kuketahui andai saja aku tidak pernah membuka peta
dunia. Aku ingin mengulang kembali waktu, tapi apa dayaku? Semua telah berlalu,
waktu adalah ciptaan tuhan yang kejamnya tiada tara, kita tidak dapat menarik
dan mengubah apa yang telah terjadi.
Kegagalan, tuhan
telah menegurku dengan sesuatu yang amat pahit, kegagalan. Kegagalan untuk
mewujudkan cita-cita, mimpi orangtua, dan perubahan yang kuimpikan di tanah
airku, Indonesia. Tiga tahun yang lalu aku berikrar untuk melakukan sesuatu
yang berbeda dari garis takdir kehidupan yang telah ditetapkan oleh tuhan untuk
keluargaku, aku akan menjadi makhluk hidup pertama yang kuliah dalam keluargaku
!! Tidak hanya sebatas itu, aku bermimpi akan kuliah diluar negeri. Masih
teringat bagaimana aku langsung mengambil sepeda dan menuju pasar loak untuk
membeli sebuah peta dunia dan hari itu pula aku memutuskan untuk berkuliah di
Jerman.
Kedua orangtuaku
yang mendengarkan impianku pun langsung mengamininya. Ayah langsung menjual
sisa tanah dan sawah yang dimilikinya dan Ibu menjual habis seluruh harta
berharganya guna menguliahkan aku ke negeri antah berantah tersebut. Semangat akan
pendidikan telah merasukiku saat itu, aku belajar siang dan malam, bahkan aku
tidak sungkan untuk meminta guruku semasa SMA untuk kembali mengajariku.
Aku akan menjadi
insinyur seperti pak Habibie! Semangatku kembali bergelora saat memutuskan untuk menjadi insinyur mesin tepat
sesaat sebelum mengikuti tes kuliah di Jerman. Ini merupakan tes beasiswa tapi tidak
100%. Pemerintah hanya membiayai 75% dari seluruh biaya kuliah di sana
sementara sisanya ditanggung oleh calon mahasiswa sendiri.
Peringkat
keenam, aku bangga menjadi peringkat keeenam dari sembilan ratusan calon
mahasiswa yang mengikuti tes tersebut, apalagi yang akan dipilih hanyalah 30
terbaik saja. Aku tidak henti-hentinya mengucapkan syukur atas kelulusan
tersebut. Emak dan Abah mengadakan syukuran di rumah guna merayakan kelulusanku
untuk berkuliah di negeri antah berantah bernama Jerman.
Hari
keberangkatanku kesana, Emak menahan sekuat tenaga rasa mualnya selama naik bus
diperjalanan menuju Jakarta hanya untuk melepas anak semata wayangnya ini berangkat ke negeri orang. Tangis pecah di
lobi keberangkatan internasional bandara Soekarno-Hatta. Abah yang biasanya
kuat dan tak pernah menangis pun pun terharu dengan perpisahan ini hingga
menitikkan air mata.
Tahun pertamaku
disana, kami yang lewat harus memutuskan universitas dan jurusan mana yang akan
diambil untuk berkuliah di sana. Setelah melalui konsultasi dengan para mentor
kami, aku pun memilih untuk berkuliah di Universität Stuttgart Fakultät für
Maschinenbau atau fakultas teknik mesin. Aku memutuskan berkuliah disini
bersama 2 orang teman lainnya. Tahun pertamaku dihabiskan untuk pengenalan
bahasa dan budaya Jerman.
Tahun kedua
dimulainya persiapan seleksi masuk universitas yang telah dipilih. Kami
diwajibkan untuk belajar seluruh pelajaran mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA
tapi dalam dua kurikulum yaitu Indonesia dan Jerman. Semua itu harus kami
tuntaskan dalam waktu satu tahun. Selama satu tahun itu pula pergaulanku mulai
meningkat setelah bahasa Jerman berhasil kukuasai. Aku mulai bergaul dengan
gadis-gadis Jerman, tapi aku masih tetap mengenal batasan dalam bergaul.
Tahun ketiga,
adalah tahun kehancuranku, pergaulanku sudah mulai memasuki tahap melampaui
batas. Bersama teman-teman baru dari Jerman, aku menghabiskan malam dengan
pesta di pub-pub yang ada di kota, bahkan aku mulai terbiasa mabuk-mabukan. Hal
ini tentu berakibat fatal terhadap proses pembelajaranku. Tes pertama yang
kuikuti aku gagal dan aku mulai sadar. Aku memiliki tiga kesempatan untuk dapat
mengikuti tes dan kini tinggal dua.
Tapi sayangnya
kesadaranku berlangsung hanya sesaat. Untuk saat berikutnya aku kembali
terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Aku menjadi semakin rusak. Tes
kedua aku pun gagal, sementara kedua temanku yang lain telah menikmati masa
kuliah mereka yang menyenangkan. Tapi anehnya, aku tidak merasa menyesal karena
berpikir masih ada tes ketiga hingga satu bulan sebelum tes ketiga dilaksanakan
datang sebuah kabar duka, Ayah meninggal. Untuk pertama kalinya dalam tahun itu
aku bertaubat penuh dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama
lagi.
Satu bulan tentu
tidaklah cukup untuk mengejar seluruh ketertinggalanku selama ini, apa dayaku
sebagi manusia? Dan disinilah aku sekarang hanya bias merenungi tanpa bisa
menarik kembali apa yang telah terjadi, nasi pun telah menjadi bubur seperti
kehidupanku saat ini. Hanya bisa merenungi apa yang harus kulakukan setelahnya,
apakah akan mati tenggelam karena bunuh diri di sungai ini, ataukah pulang ke
Indonesia dengan menanggung malu ?
Ah, aku merasa
seburuk apapun aku ini,aku masih terlalu berharga untuk mati, apalagi dengan
bunuh diri. Aku mencoba bangkit, teringat suatu pepatah ‘perjalanan ribuan kilo dimulai dengan suatu langkah kecil’ dan kini
aku mencoba untuk memulai kembali kehidupanku, meresetnya dari awal. Bangkitnya diriku dari renungan di tepi sungai
ini adalah langkah awal akan kehidupanku yang baru kelak. Apapun yang telah
terjadi biarlah terjadi, aku hanya ingin agar aku tidak akan pernah
mengulanginya lagi…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar