Laman

Rabu, 25 September 2013

Mencoba menjadi lebih baik

Aku termenung di pinggiran sungai Main pada hari yang sungguh kelam, sama kelamnya dengan hatiku yang seakan disiram air dingin berwarna hitam, sungguh suatu ungkapan yang sangat cocok dengan perasaan dan warna hatiku. Jiwaku masih remuk redam, mencoba mengubur dalam-dalam kenangan itu, tapi kenangan buruk itu seakan memiliki tenaga yang lebih untuk membuka kembali sosoknya yang kukubur rapat  tadi.

Andai saja aku tersadar lebih awal untuk apa aku selama ini menetap di negeri antah berantah yang tidak akan pernah kuketahui andai saja aku tidak pernah membuka peta dunia. Aku ingin mengulang kembali waktu, tapi apa dayaku? Semua telah berlalu, waktu adalah ciptaan tuhan yang kejamnya tiada tara, kita tidak dapat menarik dan mengubah apa yang telah terjadi.

Kegagalan, tuhan telah menegurku dengan sesuatu yang amat pahit, kegagalan. Kegagalan untuk mewujudkan cita-cita, mimpi orangtua, dan perubahan yang kuimpikan di tanah airku, Indonesia. Tiga tahun yang lalu aku berikrar untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari garis takdir kehidupan yang telah ditetapkan oleh tuhan untuk keluargaku, aku akan menjadi makhluk hidup pertama yang kuliah dalam keluargaku !! Tidak hanya sebatas itu, aku bermimpi akan kuliah diluar negeri. Masih teringat bagaimana aku langsung mengambil sepeda dan menuju pasar loak untuk membeli sebuah peta dunia dan hari itu pula aku memutuskan untuk berkuliah di Jerman.

Kedua orangtuaku yang mendengarkan impianku pun langsung mengamininya. Ayah langsung menjual sisa tanah dan sawah yang dimilikinya dan Ibu menjual habis seluruh harta berharganya guna menguliahkan aku ke negeri antah berantah tersebut. Semangat akan pendidikan telah merasukiku saat itu, aku belajar siang dan malam, bahkan aku tidak sungkan untuk meminta guruku semasa SMA untuk kembali mengajariku.

Aku akan menjadi insinyur seperti pak Habibie! Semangatku kembali bergelora saat  memutuskan untuk menjadi insinyur mesin tepat sesaat sebelum mengikuti tes kuliah di Jerman. Ini merupakan tes beasiswa tapi tidak 100%. Pemerintah hanya membiayai 75% dari seluruh biaya kuliah di sana sementara sisanya ditanggung oleh calon mahasiswa sendiri.

Peringkat keenam, aku bangga menjadi peringkat keeenam dari sembilan ratusan calon mahasiswa yang mengikuti tes tersebut, apalagi yang akan dipilih hanyalah 30 terbaik saja. Aku tidak henti-hentinya mengucapkan syukur atas kelulusan tersebut. Emak dan Abah mengadakan syukuran di rumah guna merayakan kelulusanku untuk berkuliah di negeri antah berantah bernama Jerman.

Hari keberangkatanku kesana, Emak menahan sekuat tenaga rasa mualnya selama naik bus diperjalanan menuju Jakarta hanya untuk melepas anak semata wayangnya ini  berangkat ke negeri orang. Tangis pecah di lobi keberangkatan internasional bandara Soekarno-Hatta. Abah yang biasanya kuat dan tak pernah menangis pun pun terharu dengan perpisahan ini hingga menitikkan air mata.

Tahun pertamaku disana, kami yang lewat harus memutuskan universitas dan jurusan mana yang akan diambil untuk berkuliah di sana. Setelah melalui konsultasi dengan para mentor kami, aku pun memilih untuk berkuliah di Universität Stuttgart Fakultät für Maschinenbau atau fakultas teknik mesin. Aku memutuskan berkuliah disini bersama 2 orang teman lainnya. Tahun pertamaku dihabiskan untuk pengenalan bahasa dan budaya Jerman.

Tahun kedua dimulainya persiapan seleksi masuk universitas yang telah dipilih. Kami diwajibkan untuk belajar seluruh pelajaran mulai dari tingkat SD, SMP, dan SMA tapi dalam dua kurikulum yaitu Indonesia dan Jerman. Semua itu harus kami tuntaskan dalam waktu satu tahun. Selama satu tahun itu pula pergaulanku mulai meningkat setelah bahasa Jerman berhasil kukuasai. Aku mulai bergaul dengan gadis-gadis Jerman, tapi aku masih tetap mengenal batasan dalam bergaul.

Tahun ketiga, adalah tahun kehancuranku, pergaulanku sudah mulai memasuki tahap melampaui batas. Bersama teman-teman baru dari Jerman, aku menghabiskan malam dengan pesta di pub-pub yang ada di kota, bahkan aku mulai terbiasa mabuk-mabukan. Hal ini tentu berakibat fatal terhadap proses pembelajaranku. Tes pertama yang kuikuti aku gagal dan aku mulai sadar. Aku memiliki tiga kesempatan untuk dapat mengikuti tes dan kini tinggal dua.

Tapi sayangnya kesadaranku berlangsung hanya sesaat. Untuk saat berikutnya aku kembali terjerumus dalam pergaulan yang tidak sehat. Aku menjadi semakin rusak. Tes kedua aku pun gagal, sementara kedua temanku yang lain telah menikmati masa kuliah mereka yang menyenangkan. Tapi anehnya, aku tidak merasa menyesal karena berpikir masih ada tes ketiga hingga satu bulan sebelum tes ketiga dilaksanakan datang sebuah kabar duka, Ayah meninggal. Untuk pertama kalinya dalam tahun itu aku bertaubat penuh dan berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama lagi.

Satu bulan tentu tidaklah cukup untuk mengejar seluruh ketertinggalanku selama ini, apa dayaku sebagi manusia? Dan disinilah aku sekarang hanya bias merenungi tanpa bisa menarik kembali apa yang telah terjadi, nasi pun telah menjadi bubur seperti kehidupanku saat ini. Hanya bisa merenungi apa yang harus kulakukan setelahnya, apakah akan mati tenggelam karena bunuh diri di sungai ini, ataukah pulang ke Indonesia dengan menanggung malu ?


Ah, aku merasa seburuk apapun aku ini,aku masih terlalu berharga untuk mati, apalagi dengan bunuh diri. Aku mencoba bangkit, teringat suatu pepatah ‘perjalanan ribuan kilo dimulai dengan suatu langkah kecil’ dan kini aku mencoba untuk memulai kembali kehidupanku, meresetnya dari awal. Bangkitnya diriku dari renungan di tepi sungai ini adalah langkah awal akan kehidupanku yang baru kelak. Apapun yang telah terjadi biarlah terjadi, aku hanya ingin agar aku tidak akan pernah mengulanginya lagi…

Aceh Besar, 4 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar